Selasa, 13 April 2010

# sekat

Ibu, ayah, kalian dimana?

Aku ketakutan di tengah keramaian pasar. Aku ditinggal sendirian. Aku adalah bocah berumur delapan tahun yang hidup di pasar, siang dan malam aku harus menggelar kardus, bukan tikar, untuk alas tidur. Disini banyak lalar, entah baik atau tidak, aku merasa seperti beruk. Badanku lusuh,mukaku kusam, kadang aku tidak mandi seharian.

Subuh, aku dibangunkan oleh suara kendaraan dan teriakan tukang jagal ikan yang menyuruhku beranjak dari area marketingnya. Aku sama sekali tidak mendengar adzan, karena sungguh aku ingin dekat dengan tuhan. Aku ingin mengadu kepadanya, karena tuhan pun hanya bisa mendengar, tidak bisa memberiku jawaban secara lisan.

Aku berjalan kesana kemari tanpa tujuan yang pasti. Tidak satu pun manusia disini merasa kasihan kepadaku. Bagi mereka, uang jadi barang nomer satu. Mereka seperti hilang empati, seperti kehabisan energi untuk bersimpati. Dan kemana aku harus pergi, aku tidak bisa melancong kesana kemari karena tubuhku yang ringkih kekurangan gizi ini.

Aku masih saja menggenggam kardus ini, cuma ini, serta kaus compang camping berwarna putih yang kini menjadi coklat karena kotoran. Aku ingin mencari ibuku, aku ingin mencari ayahku. Aku ingin bertanya kepada tuhan, tapi apakah aku pantas mengadu kepadanya, sedangkan manusia pun menutup telinga mereka ketika aku berbicara?

Sudah sekitar tiga jam aku berjalan sambil menyeret kardus. Sudah berapa ruko dan kios yang aku lewati, sudah berapa sungai yang aku telusuri, aku belum melihat tanda-tanda keberadaan ayah dan ibuku. Kemudian aku diam dan melihat bocah-bocah bercanda tawa dengan ibunya. Mereka digendong, mereka dicubiti seperti dunia ini hanya untuk mereka yang beruntung, bukan diriku yang buntung.

***

Tiga belas tahun sudah. Aku menjadi berandalan, aku menjadi remaja yang kekurangan kasih sayang. Tiap kali aku berpindah, aku tidak menemukan orangtuaku, baik disana maupun disini. Apa saat ini aku masih tidak pantas untuk mengadu kepada tuhan? Aku melihat surau itu mendengungkan adzan, aku ingin masuk kesitu, tapi apakah itu terbuat hanya untuk orang-orang suci?

Aku masih begini, di kantung celana kiri terdapat belati untuk menjarah, dibelakang celanaku kuselipkan arit untuk mencari sedikit rejeki dari suatu keterpaksaan.

Dan aku hanya berdiri di luar surau, dengan badan penuh tato. Aku mulai menundukkan kepalaku. Badanku sudah lemas bahkan untuk duduk pun aku tidak punya upaya, badanku mati rasa seketika.
“tuhan, tolong kembalikan aku kepada orangtuaku, tolong pertemukan aku dengan mereka.”

Seperti yang dilagukan oleh mocca dalam musiknya yang berjudul hanya satu :

Hanya satu pintaku
tuk memandang langit biru
dalam dekap seorang ibu
hanya satu pintaku
tuk bercanda dan tertawa
di pangkuan seorang ayah

apa bila ini
hanya sebuah mimpi
ku selalu berharap
dan tak pernah terbangun
hanya satu pintaku
tuk memandang langit biru
di pangkuan ayah dan ibu


Sepertinya sudah terlambat, aku ingin pergi jauh, aku tidak ingin kembali. Aku berjanji untuk tidak menikah, untuk tidak memiliki seorang anak. Aku tidak ingin menjadi orangtuaku yang tidak berterima kasih telah dititipkan seorang anak untuk dirawat bukan untuk ditelantarkan di kota yang penuh manusia yang kira-kira tidak beradab. Sudahlah, aku ingin mati, aku ingin bertemu tuhan saja ah.

Andai aku bisa, aku ingin meminta waktuku kembali. Tuhan, lahirkan aku sekali lagi, dan biarkan aku memiliki orangtua yang selalu ada disampingku, setiap saat, setiap waktu.

benar kata soe hok gie, dunia itu begitu palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar