pada akhirnya, teriakan sengit itu datang lagi, mengebiri, memojokkan diriku. tidak ada yang aku sadari. aku seakan memang telah ditakdirkan untuk hitam, berjalan kesana kemari tanpa lampu, temaram sekali. tidak ada satu pun bahasa yang bisa kuperdaya, bukan di kertas ini, bukan pula di maya sana. aku sudah kembali, ke dunia nyata yang sama sekali aku cintai, tetapi hanya pucat pasi sehabis ke kandang itu.
entah kenapa aku begini. aku dikelilingi teman-teman yang begitu ceria, aku ditemani putri, gadisku itu. aku sudah sibuk, mencla mencle macam tahi. aku sudah rumit sendiri, bahkan ingin menaruhnya dulu di almari pun tidak muat. aku sendiri, bahkan saat aku sedang ingin menikmati dunia. aku memikirkannya, ia senang sekali diperlakukan seperti itu. aku sudah risih saat dia selalu meninggikanku dengan hal yang bernama seni, sebuah seni tulis yang aku sendiri bingung mengapa aku menggarapnya. ingin disudahi, tapi aku makin bernafsu kuda, berceramah dengan keyboard atau pena yang kedua-duanya sangat kucintai.
aku tidak ingin menggarap semua ini di dalam otak, aku tidak ingin merekamnya. aku ingin dia ada disini, di sebuah maya yang tidak ingin dilihat siapa-siapa. putri, dia gadisku yang sangat cantik. dia selalu mengelak setiap aku berkata demikian, katanya, aku yang terlalu tinggi baginya, persetanlah dunia. cinta bukan tuhan, dan gadisku cuma seorang manusia, sama seperti yang lainnya. aku tidak boleh begini, aku cuma ingin dia kelihatan ceria, walau dia jauh sekalipun. dia risih sekali dengan keberadaanku, dia selalu membuatku cemburu seakan-akan aku ini beruk yang mengidamkan angsa. tragis.
entah kenapa aku begini. aku dikelilingi teman-teman yang begitu ceria, aku ditemani putri, gadisku itu. aku sudah sibuk, mencla mencle macam tahi. aku sudah rumit sendiri, bahkan ingin menaruhnya dulu di almari pun tidak muat. aku sendiri, bahkan saat aku sedang ingin menikmati dunia. aku memikirkannya, ia senang sekali diperlakukan seperti itu. aku sudah risih saat dia selalu meninggikanku dengan hal yang bernama seni, sebuah seni tulis yang aku sendiri bingung mengapa aku menggarapnya. ingin disudahi, tapi aku makin bernafsu kuda, berceramah dengan keyboard atau pena yang kedua-duanya sangat kucintai.
aku tidak ingin menggarap semua ini di dalam otak, aku tidak ingin merekamnya. aku ingin dia ada disini, di sebuah maya yang tidak ingin dilihat siapa-siapa. putri, dia gadisku yang sangat cantik. dia selalu mengelak setiap aku berkata demikian, katanya, aku yang terlalu tinggi baginya, persetanlah dunia. cinta bukan tuhan, dan gadisku cuma seorang manusia, sama seperti yang lainnya. aku tidak boleh begini, aku cuma ingin dia kelihatan ceria, walau dia jauh sekalipun. dia risih sekali dengan keberadaanku, dia selalu membuatku cemburu seakan-akan aku ini beruk yang mengidamkan angsa. tragis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar