diksi-diksi yang tidak berkembang, kata-kata yang merunduk perlahan-lahan. kekuatanku akan kesenangan tidak bisa dikatakan dengan kata maupun kosakata dalam bahasa manapun. sedangkan kesedihan, bisa aku satu-persatukan membentuk syair atau gurindam. sebuah seni klasik yang salah aku pergunakan.
sebutkan apa yang menjadi nama besar seorang pengarang? mampu menjiwai dirinya sendiri dan mampu menggaet animo perasaan hati pembaca. aku siapa? menjiwai ala kadar yang terlihat di depan mata. hatiku bicara lain. aneh sekali. selalu ada yang mengganjal, kepada dunia, kepada cintaku bersama putri. kadang, aku pikir, aku lebih baik terlahir menjadi orang lain yang biasa saja. aku sudah sangat mensyukuri apa yang aku miliki, namun itu membuatku menjadi seseorang yang penuh klenik tanpa wujud-wujud yang tak terlihat oleh mata. dan aku tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan, pada masa ini.
“Waiting is painful. Forgetting is painful. But not knowing which to do is the worse kind of suffering.”
— | Paulo Coelho |
malam ini, aku ingin sekali bersandar kepada putri. karena pada sandaranku kepadanya adalah tempat yang hangat selain pundaksandaran ibu, yang jarang sekali aku tempeli. aku ingin menangis. menangis sendiri sangat berat untuk aku sadari secara penuh. berat sekali. tetesan ini tidak ada rembesannya. andai saja belum terlalu larut saat aku merasa begini, aku akan menghampirimu dan memintamu untuk berdiam diri. kemudian biarkan aku benamkan kedua mataku pada pundak atau punggungmu, sayangku. ketidakmengertian ini, sebuah keganjilan yang memakan diriku. sebuah cerita kelam yang ingin sekali aku hilangkan dalam tulisanku. sayang, ini sudah berakar. aku sedih sekali tidak bisa menjadi pengarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar