begitulah dunia. dan inilah yang selalu aku kenakan saat bulan yang merdu datang di hariku, datang di pagi-pagiku. bulan JUNI.
kali ini, aku mencoba untuk belajar, belajar sesuatu yang sulit aku mengerti sewaktu dulu. aku belajar untuk tetap bertahan, saat emosi-emosi mempertontonkan pertunjukan yang sangat tidak menyenangkan. bukan ingin mengenyahkan, aku hanya tidak ingin keterusan. barusan, seperti suatu hal yang paling indah di dunia, bukan kembang bukan pemandangan, cuma kasih sayang dari sepasang yang sedang beranjak menuju usia barunya masing-masing.
berbesar hati mungkin saja sulit untuk diselenggarakan dengan kecerdasan pas-pasan. dan aku mengerti bagaimana menjalani hidup yang asli, yang membedakan antara otak dan hati. untuk kisah romansaku, kali ini tidak perlu otak yang mengisi. cukup hati yang saling memberi.
kepintaran, seni, kekaguman atas sesuatu yang terlihat, itu adalah otak yang memiliki peran. dan hati, masih diam. sekarang dia membentak, meminta untuk dibedakan dan tidak dibanding-bandingkan. jika mencintai sesama manusia itu memakai otak, lalu dimana peranan hati? jika tuhan saja tidak bisa dipecahkan oleh logika, lalu mengapa otakku selalu saja mengira sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh hati? aku telah salah selama ini.
cukup beberapa bulan, cukup demikian adanya aku belajar. bukan pengalaman yang dahulu dan kini diisi kembali, namun sebuah kebaruan yang sangat berharga. entah, di depan nanti apalagi yang sedang menunggu untuk dipelajari. intinya, hatiku sudah meluluh, otakku dimuseumkan dulu dari masalah bersama perempuan. aku senang dengan perempuan, tapi aku bukan chairil anwar yang selalu bermain jalang, aku juga bukan gie yang kaku dengan perempuan. aku adalah laki-laki yang sudah seharusnya bisa membedakan masalah otak dan hati, terutama permainan roman dengan perempuan.
ketika hujan-hujan kecil turun di sore hari, aku menemukanmu dengan muka muram, entah kenapa, pasti salah satu di antara kita penyebabnya. kemudian dunia baru mulai datang dari siang menuju malam, sudahlah, kita berhenti untuk begini. aku mencoba, selalu mencoba untuk berbicara berbarengan dengan ketawa kecil yang sekiranya bisa menjadi ramuan mujarab di sela-sela perselisihan kita tentang komunikasi. sebuah kelumit komunikasi yang diluruskan dengan komunikasi. dan Tuhan seperti nyata di bumi, membuat batu-batu lebur menjadi debu. mudah dan mustahil sekali bila ditangisi. sudahlah, aku ingin membaca dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar