ada pertengkaran hebat. ada hati yang mengeras membatu, meski hujan turun dan tanah sudah lunak, masih saja petir-petir amarah membentak di atas sana. aku hampir melepas seorang perempuan di dalam sebuah ikatan yang semu. aku tak bisa lagi bercanda. tapi aku masih suka, dan aku mempermainkan waktu. aku menggunakannya untuk dirinya, perempuan manis yang selalu aku rindu.
memang, jeruk tak manis bila masih muda. seperti kita, yang masih muda belianm masih kecut. dan setidaknya ada barang sekecil kemesraan. meski manusia-manusia yang mengerti dan normal berkata, "ah kalian gila cinta", namun, apa yang lebih membahagiakan jika mengikuti kalbu. melepas sendu, jika itu memang ada di hatiku, aku ceraikan ia keluar disini atau dimanapun. tapi untuk kali, ada sesuatu yang ragu. ada yang selalu cemas. itu aku, yang sedang memelas.
untuk sebuah kata demi, untuk sepasang bibir yang selalu tersenyum. itu dia, hal-hal disaat kita berdua bersama di ruang-ruang yang semestinya tak bernama, di nama-nama yang tak seharusnya melekat untuk benda-benda di sekitar kita. entah apa yang terjadi di antara kita. entah situasi apa yang semestinya cocok untuk segenggam tangan kita. mungkin seharusnya ada, satu tempat yang bisa memenuhi semua isyarat aku kepadamu, pun kamu kepadaku.
setelah altar pengakuan itu, apa yang lebih menyakitkan selain mengetahui salah satu di antara kita sedang berkata jujur. kejujuran sebuah kesalahan. tak banyak yang bisa kuperbuat. langit sudah hitam, ia berganti nama menjadi malam. badanku lunglai, dan aku hanya mendengarkan. banyak sekali airmata yang terbendung. tapi, apa yang lebih istimewa ketika aku tahu, kamu sedang bahagia bersamaku. mungkin, aku tidak menemukannya lagi, sebuah diriku yang selalu merasa benar. mungkin, aku tak ingin berpanjang teori. semenjak itu, sulit sekali aku untuk melepaskan canda. aku ketakutan. seperti tubuh bertiada ruh. karena, sekeras gading pun akan selalu retak.
aku tiada mengenal diriku, bahkan sampai kau merasa lebih mengenalku. "apa yang lebih puitis selain berbicara tentang kebenaran", darimu terungkap, "apalah yang lebih tragis selain puitis-puitis kebenaran, kebenaran satu-satunya yang dialami sebongkah hati". kadang, siapa yang paling tragis, kecuali dia yang menyaksikan laman ini, lalu berkata tidak, kemudian pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar