apalagi yang lebih nyata, daripada dunia itu sendiri. dan kamu selalu memikirkan setiap kejadian. derrida pun tak demikian. ia berkata untuk jalani saja. tak perlu terlalu muluk. boleh saja meminta, setiap di dalam sujud sembahmu, namun saat tak diberikan, mungkin tuhan sayang, dia menggantinya di lain kesempatan. bukalah bajumu, dan aku bakal lihat segalanya yang lunak. dari hati sampai kelenjar dada. bukalah celana dan aku bakal melihat yang pipih, kemudian aku pasti bersyukur, disitulah anakku bakal keluar dari kantung rahim dirimu.
kesenangan tak bisa dibeli, dan keindahan bisa diciptakan sendiri meski tak ada bintang, atau bulan yang benderang, serta awan yang biru melayang-layang di angkasa. lihatlah keningku, penuh dengan minyak muka, terang sekali kelihatannya. lihatlah wajahku, kusam dan legam, tak bedanya dengan besi-besi karatan di gerbang pintu rumahmu sayang.
aku terus meyakini ihwalnya kamu tak akan pernah pergi. dan kamu tak bisa aku yakini, karena merendah diri adalah sesuatu yang sudah terbibiti semasa dini. kita terus berkomunikasi. aku terus berfilsafat dan menjadi praktisi dalam roman picisan ala Tuhan. kita adalah penyaing adam hawa, kita adalah hulu ledak setiap kejahatan, kita adalah benih-benih murni yang tak pernah terbayangkan. aku merendah, maka menunduklah di bawahku. angkat dadaku dengan tangan kananmu, sekuat tenaga. dorong aku sampai dinding retak itu. buat aku berdiri, dan bilanglah, "kamu sama tegak denganku, kamu bukan pohon layu, kamu adalah tembok yang terkadang retak."
kemudian kamu melingkar dalam pelukanku. kamu itu lucu seperti kucing. aku elus lembut kepalamu, pelan, pelan, pelan. dan selalu saja aku melihat senyummu yang menyenangkan. aku lihat itu menjadi sebuah hal yang menenangkan. lembut, lembut, lembut. tapi kita tak berciuman, belum mungkin. karena terkadang cinta itu butuh pembuktian lebih dari sekadar pengertian dan jalan-jalan bersama. dia butuh tindakan. tapi jagalah bibirmu untukku seorang. karena aku bakal memintanya darimu, pada tiba saatnya janur mulai menguning.
dan di ujung-ujung puisi selepas bertemu kamu, akan selalu ada kata-kata yang terus mewakili. kata bukan lagi sebuah senjata. kata adalah cinta. dan di puisi sembarang ini tak pernah ada yang menyangkalnya, kalau cinta itu cinta, dan hati itu hati. cintailah dengan hatimu. cintailah meski tanpa duitmu. cintailah apa yang benar-benar menyintaimu. karena cinta adalah rasa, ia tak pernah bohong. salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar